'Saya ini 21 Tahun dicekal'


Wawancara Abdul Haris Nasution:


JENDERAL NASUTION, seperti pengakuannya sendiri, adalah seorang "strong old soldier". Ini diucapkan oleh dokter yang pernah mengoperasi jantungnya di Amerika Serikat tahun 1986 silam. Kini di usianya yang ke-80, Jenderal Abdul Haris Nasution yang baru saja mendapatkan bintang lima masih tetap kelihatan segar meski sesekali masih harus diperiksa kesehatannya. "Saya bersyukur bahwa saya masih memasuki usia 80 tahun. Ya, bagaimanapun tambah tualah, tambah banyak penyakit. Jadi yang kami doakan itu adalah supaya terjaga kesehatan," katanya.

Yang istimewa dari tokoh besar yang pekan ini menjadi "Tamu Kita" ini adalah mungkin ia salah satu dari sedikit jenderal yang sangat produktif menulis buku, memiliki daya ingat yang tajam, dan bahasa yang sangat lugas. Salah satu buku tentang masa kecilnya baru saja diluncurkan, sedangkan satu buku lagi yang berkisah tentang sejarah kepemimpinannya di militer -- tentu saja termasuk peristiwa G30S/PKI dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya -- juga sedang digodok untuk diterbitkan. Yang menarik juga adalah peran Jenderal Nasution sebagai Ketua MPRS di tahun 1966 yang menolak pidato pertanggungjawaban Bung Karno. Berikut adalah wawancara,

Apa komentar Anda tentang penganugerahan Bintang Lima kepada Anda oleh ABRI menjelang hari ABRI tempo hari?

Reaksi saya cuma satu: tidak menolak, itu saja (tertawa perlahan). Saya ini 21 tahun dicekal, ha, ha, ha.Yang mencekal itu kan pemerintah. Jadi, ya, segala sesuatu saya terima saya, jadi saya tidak bisa menolak. Tapi saya bersyukur juga.

Bagaimana asal mula pengangkatan Bapak sebagai Ketua MPRS dan dilantik pada 12 Juni 1966? Siapa saja yang saat itu menjadi anggota MPRS?

Saya dipilih oleh golongan-golongan yang ada di MPRS, yaitu Nasionalis, Islam, Kristen/Katolik, Golkar, dan Utusan Daerah. Selama pemilihan itu, saya tidak hadir dalam sidang-sidang, tetapi sebelum pemilihan, saya didatangi oleh Jenderal Alamsyah Ratupiawiranegara, Ketua SPRI Panglima Angkatan Darat, yang diutus oleh Jenderal Soeharto. Pimpinan Angkatan Darat telah memutuskan agar saya sebagai senior ABRI waktu itu dicalonkan menjadi Ketua MPRS.

Bagaimana Presiden Soekarno membacakan pidato Nawaksara yang konon merupakan pidato pertanggungjawaban Bung Karno seputar G30S/PKI?

Pidato Presiden tanggal 22 Juni 1966 pada Sidang Umum IV/ MPRS itu disebutnya sebagai Progres Report dengan judul Nawaksara, karena berisi sembilan pokok. Menurut penilaian waktu itu,amanat tersebut tidak dapat disebut sebagai suatu progress report atau pertanggungjawaban, karena, pertama, materi amanat itu pada hakikatnya tidak memberikan pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPRS. Seharusnya sesuai dengan kedudukan presiden terhadap MPRS, maka presiden harus memberikan pertanggungjawaban hasil kerjanya kepada MPRS. Kedua, isi amanat itu pada umumnya berisi saran-saran kepada MPRS dalam bidang poleksos (politik, ekonomi, sosial) dimana presiden menghendaki agar MPRS mempertahankan saja keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan MPRS yang sebenarnya menyimpang dari UUD 1945, misalnya mengenai presiden seumur hidup.

Mengapa kemudian MPRS menolak pidato pertanggungjawaban tersebut, dan mengapa dinyatakan belum lengkap sehingga masih perlu dilengkapi?

Reaksi berbagai lapisan masyarakat alas pidato Nawaksara tidakmencerminkan kehendak masyarakat pada saat itu. Sebagai pimpinan MPRS, setiap hari harus melayani berbagai delegasi dari masyarakat terutama pemuda, pelajar, mahasiswa, dan berbagai kelompok masyarakat. Pidato itu tidak menggambarkan pertanggungjawaban mengenai kemunduran ekonomi, akhlak, dan G30S/ PKI. Dari keseluruhan pidato tersebut, MPRS menilai bahwa Nawaksara kurang memenuhi harapan rakyat. Maka, keluarlah Keputusan MPRS No.5/MPRS/1996.

Benarkah saat itu banyak pihak yang menginginkan Bung Karno turun? Siapa saja mereka? Adakah saat itu mereka memberikan altenatif nama untuk menggantikan Bung Karno sebagai Presiden RI?

Sebelum pemberian Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), tidak terdengar suara-suara tentang penggantian Presiden Soekarno. Pada umumnya suara-suara dari masyarakat hanya menghendaki pemurnian UUD 45 secara murni dan konsekuen. Pada Pasal 2 Ayat 1 Tap. MPRS No.XV/MPRS/ 1966 menyebutkan bahwa jika presiden berhalangan, pemegang Supersemar memegang jabatan presiden. Demikian pula pada Ayal 1 di atas oleh pengembannya dilakukan dengan didampingi oleh pimpinan MPRS dan pimpinan DPR-Gotong Royong.

Dalam kapasitas Bapak saat itu sebagai Ketua MPRS, bagaimana Bapak mengomentari pidato kenegaraan Bung Karno yang berjudul Jasmerah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) pada 17 Agustus 1966?

Jasmerah adalah judul yang diberikan oleh Kesatuan Aksi terhadap pidato Presiden, bukan judul yang diberikan Bung Karno. Presiden memberi judul pidato itu dengan Karno mempertahankan garis politiknya yang berlaku “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah". Dalam pidato itu Presiden menyebutkan antara lain bahwa kita menghadapi tahun yang gawat, perang saudara, dan seterusnya. Disebutkan pula bahwa MPRS belumlah berposisi sebagai MPR menurut UUD 1945. Posisi MPRS sebenarnya nanti setelah MPR hasil pemilu terbentuk.

Ketika Anda masih menjabat sebagai Ketua MPRS, Anda memberikan mandat kepada pejabat presiden pemegang Supersemar untuk memeriksa keterlibatan Bung Karno dalam peristiwa G 30 S/PKI, tapi kemudian pemeriksaan tersebut dihentikan (dideponir). Mengapa?

Sebenarnya kami waktu itu mengirim surat kepada beliau (Bung Karno), tapi perhatiannya kurang, malah menjadi pidato Jasmerah. Saat itu kami melihat responsnya tidak sebagaimana yang kami harapkan. Kemudian DPRGotong Royong memproses dan mengusulkan supaya beliau dituntut. Tapi, ya, kita di Indonesia tidak usah begitu jauh.

Ketika ramai demonstrasi mahasiswa yang terus-menerus meminta Bung Karno tanggungjawabkan terjadinya G30S/PKI, MPRS memperingatkan Bung Karno agar melengkapi Nawaksara. Apakah Bung Karno kemudian melengkapinya?

Bung Karno memang melengkapinya dengan apa yang disebut sebagai Pel-Nawaksara (Pelengkap Nawaksara). Pimpinan MPRS telah menerima dengan resmi surat Presiden Rl tentang pelengkap pidato Nawaksara yang diantarkan oleh Sekretaris Militer Presiden Mayjen Suryo Sumpeno. Setelah membaca surat tersebut, maka catatan sementara dari pimpinan MPRS adalah bahwa Presiden masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungjawaban kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. Kemudian, Pelengkap Nawaksara itu bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan para panglima Angkatan Bersenjata.

Menurut Pak Nas, seberapa jauh "keterlibatan" atau pengetahuan Bung Karno tentang upaya G30S/PKI?

Pada 1 Februari 1967, Pangkopkamtib Jenderal Soeharto mengirimkan laporan tim Pangkopkamtib dengan 13 halaman data dan fakta yang ditemukan dalam persidangan pengadilan semenjak perkara Nyono yang menyangkut diri Presiden Soekarno dan yang dapat digunakan sebagai bukti maupun petunjuk-petunjuk pada tingkat keterlibatan dalam masalah G30S/PKI. Menurut saya, Bung Karno sesuai dengan garis politiknya saat itu, memang memberikan "angin" kepada PKI. Untuk mengetahui sejauh mana keterlibatannya dengan G30S/PKI, hanya pengadilanlah yang dapat memutuskan.

Persatuan Wartawan Indonesia dan Kodam Siliwangi ternyata pada 19 Januari 1967 menyatakan tidak dapat menerima Pelengkap Nawaksara. Bagaimana sikap MPRS menghadapi penolakan-penolakan itu?

MPRS sependapat dengan penolakan-penolakan itu, sebagaimana yang kami simpulkan dalam rapat pada 10 Januari 1967. Pada 21 Februari 1967 Bung Karno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pemegang Supersemar sesuai dengan Tap. MPRS Tahun 1966. Penyerahan kekuasaan itu kemudian disetujui oleh DPR-Gotong Royong. Bisakah diceritakan kembali prosesnya? Pada 22 Februari 1967 seluruh menteri berkumpul di Istana Merdeka untuk mendengarkan pengumuman Presiden yang berisi: "Setelah menyadari konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan rakyat, bangsa dan negara, maka dengan ini saya umumkan: Pertama: Kami, Presiden Indonesia Mandataris MPRS/Pangti ABRI, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengemban Tap. No.lX/MPRS/66, Jenderal TNI Soeharto, sesuai dengan jiwa Tap. No.XV/MPRS/66 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 1945. Kedua: Pengemban Tap. No.lX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada presiden setiap waktu jika dirasa perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, para pemimpin masyarakat, segenap aparatur pemerintahan dan seluruh ABRI untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi, dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas pengemban Tap. No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut di atas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung jawab pengumuman ini kepada rakyat dan MPRS."

Menurut Pak Nas, mengapa Bung Karno tidak kunjung bersedia membubarkan PKI kendati tuntutan itu sudah demikian gencarnya?

Yang dapat memberikan alasan mengapa tidak membubarkan PKI hanyalah yang bersangkutan (Bung Karno). Ada yang Pak Nas harapkan di usia senja ini? Kalau usia sudah begini, mau berjuang pun tidak. Kalau ada orang bergerilya, biarlah orang lain, saya hanya di samping.

*Dimuat di Majalah D&R, 17 Januari 1998