'Posisi kami sudah paling low profile'



T
udingan dan citra buruk, baik di dalam maupun di luar negeri, yang menodai tubuh Kopassus karena sejumlah pelanggaran HAM yang dilakukan pasukan elit Baret Merah ini belum mereda. Sejumlah kasus seperti penculikan pada aktivis prodemokrasi, kasus pembunuhan dukun santet di Banyuwangi, atau pembumihangusan Tim-Tim secara sistematis, masih menggantung, tahu-tahu mencuat kasus lain yang tak kalah menjadi sorotan, yaitu keterlibatan anggotanya, Letda Inf. Agus Isrok, yang juga putera mantan KSAD Subagyo HS, dalam perdagangan dan penggunaan narkoba..

Sebagai Komandan Jenderal Kopassus ‘di masa krisis’, Mayjen TNI Syahrir MS memang harus ekstra keras memperbaiki citra korpsnya, termasuk menggodok visi, profesionalitas, dan rencana perampingan tubuh pasukan elit Angkatan Darat tersebut. Bertepatan dengan HUT Kopassus kali ini, Tempo mewawancarai pria tamatan Akabri ’71 yang dilahirkan di Baturaja, 53 tahun silam ini.

Berikut penjelasaannya kepada Tiarma Siboro, Arief Zulkifli, Johan Budi Sp, dan fotografer Rini PWI,

Bagaimana visi Anda membawa nama Kopassus di tengah problem tentang citranya di mata masyarakat?

Kalau kita bicara masalah prajurit pasukan khusus saya yakin dan percaya bahwa semua orang mempunyai pandangan yang sama, yaitu ingin mewujudkan pasukan khusus yang ideal, tetapi menurut saya sangat relatif untuk mencapai mana yang ideal itu. Hari ini saya mengatakan begini, beberapa hari kemudian bisa berbeda. Oleh karena selama ini kita di dalam menyusun suatu organisasi itu bergantung ancaman, gangguan, tantangan, dan hambatan yang dihadapi. Lalu ada pengaruh lain, tentu pengaruh dari geografi. Negara kita ini, katakanlah satu-satunya didunia yang memiliki wilayah yang bentuknya seperti ini, artinya ada daratan dan perairan yang luas, garis pantainya begitu panjang, ditambah jumlah penduduk dan kondisi idiologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hankam. Nah faktor-faktor ini juga berkembang berdasarkan perkembangan waktu yang mengakibatkan semua faktor penentu di atas menjadi relatif. Jadi kalau ada yang bertanya kepada saya, Pak yang mana sih yang ideal?. Enggak bisa saya berikan suatu angka. Misalnya seperti sekarang ini, kalau saya melihat Kopassus ya sudah sementara ini cukup. Bahwasannya kita ada penataan kembali dari rencana semula, apakah itu nanti berpengaruh kepada jumlah personil, bisa saja. Tetapi tidak bisa dikatakan ya pengurangannya sekian atau sekian. Kecuali kalau kita sudah bicara politik, ya terserah. Saya tidak berbicara politik.

Sekarang ini tentara tidak lagi dilibatkan secara langsung dalam menangani keamanan. Ini berbeda dengan masa ketika Pak Harto masih berkuasa. Apakah perubahan itu termasuk juga di Kopassus?

Kalau kita bicara doktrin memang kami ini bagian dari subsistem dari sistem nasional. Jadi doktrin kami itu ada dari atas, termasuk fungsi dan tugas. Perubahan itu saya dengar dan masih dalam proses. Memang orang maunya buru-buru dan cepat. Tetapi kami tetap mengacu kepada hal-hal tadi. Saya tidak bisa memutuskan sendiri karena ini menyangkut kebijakan. Kalau kita berbicara masalah kemampuan, nah itu profesional, makanya saya bicara. Misalnya ada yang bertanya, anak-anak itu dilatih apa saja Pak. O, senapan, menembak. Ya, saya bisa karena disitu saya yang mengembangkan. Tetapi kalau menyangkut kebijakan, itu dari atas.

Saat ini Indonesia masih dilanda berbagai kerusuhan yang dalam sejarahnya Kopassus berperan besar untuk menyelesaikan. Di sisi lain, ada rencana untuk melakukan perampingan Kopassus dan sudah diutarakan oleh Menteri Pertahanan. Bagaimana menyesuaikan dua hal yang bertentangan ini?

Itulah yang saya katakan penataan. Kita tata lagi dari perkembangan yang mungkin ada untuk kita kaji lagi. Mengapa? Ya karena ada pengaruh lingkungan yang menyangkut masalah kondisi sosial, atau dari politik dan ekonomi. Tidak mungkin memang membuat pasukan itu besar dengan kualitas yang kita harapkan juga baik, sementara sarana dan prasarananya sangat terbatas. Karenanya tentu penataan itu tetap menyangkut masalah kualitas sebagai prioritasnya. Nah kalau itu dipertahankan dan kita sepakat bahwa kualitasnya tidak berubah, maka kalau manusianya dikurangi, tentu harus ada sarana dan prasarana serta alat yang mendukung. Termasuk juga ilmu pengetahuan yang semula kurang harus ditingkatkan. Tentu pemikirannya seperti itu.

Apakah pengurangan jumlah personil Kopassus dari semula 6000 orang rencananya akan menjadi 700 dianggap hitungan yang tepat, atau ada formulasi lain yang Anda tawarkan?

Penjelasan itu sudah disampaikan secara resmi oleh Menteri Pertahanan. Begini, bukan dijadikan 700, tetapi ada pemikiran jumlahnya akan dikurangi. Memang sampai saat ini saya belum mendapat perintah untuk itu, tetapi kita sudah mengkaji rencana perampingan itu. Saat ini saya tidak mengatakan, wah itu angka 700 itu persis. Belum tentu. Kami ada bargain. Karena kalau kita bicara dana, faktor-faktor yang saya sebutkan berupa ancaman, gangguan, tantangan, dan hambatan, akan sangat berpengaruh. Tapi soal itu, saya belum bisa bicaralah, ha..ha..ha..

Rencana penciutan Kopassus ini cenderung mengarah pada peningkatan kualitas, lantas apakah dananya tersedia?

Peningkatan kualitas yang saya lakukan ini bukan disebabkan adanya rencana penciutan. Berpikirnya itu tidak begitu. Kalau ada penciutan berarti ada tuntutan lain yang harus terpenuhi. Kalau umpamanya tidak, jadi selama ini ya disesuaikan. Misalnya sekarang ada suatu tugas yang bisa dikerjakan dengan kemampuan satu orang, ternyata dengan jumlah sekarang pekerjaan itu dikerjakan lima orang. Tetapi kalau kualitas sudah baik, bisa juga tiga pekerjaan dikerjakan hanya oleh dua orang.

Nampaknya penciutan Kopassus ini karena ada perubahan orientasi dan pengurangan tugas-tugas Kopassus. Dalam pemerintahan Gus Dur sekarang, bagaimana ruang lingkup tugas Kopassus itu?

Kita ini mengacu kepada doktrin dan sampai saat ini belum ada perubahan yang mendasar, yang ada hanya penyesuaian. Kami pun demikian. Contoh yang paling jelas saja adalah peran sospol yang kini sudah sudah tidak ada. Nah itu berarti ada penyesuaian dimana tugas yang dulunya masuk ruang lingkup sospol, kini tidak lagi, atau malah orang yang menanganinya sudah tidak diperlukan lagi. Namun, soal pem-BKOan personil Kopassus ke Kodam-kodam itu tidak tergantung dari besar-kecilnya Kopassus, itu tergantung jenis tugasnya. Makanya soal jumlah personil ini jadi amat relatif. Bisa juga jumlah personil itu disesuaikan dengan jumlah penduduk. Kayak di Singapur yang jumlah penduduknya sekitar 3-4 juta ternyata jumlah militernya sekitar seribuan orang. Berarti kalau di Indonesia yang penduduknya 200-an juta, maka personil militernya sekitar 50 ribuan. Tapikan bukan begitu hitungannya.

Semua negara punya pasukan khusus tetapi cuma di negara kita ini nampaknya pasukan khusus itu sampai dituntut bubar oleh beberapa LSM di luar negeri…

Kita ini jangan sampai terbawa atau menurut saja pada apa-apa kata orang. Nah itu yang saya harapkan, bangsa ini juga punya kebanggaan. Ya mohon maaf saja kalau seandainya, karena ini tercatat di negara kita, misalnya ada CIA pernah melakukan sesuatu kegiatan, kok orang tidak ribut padahal itu di suatu negara orang lain. Ini kita sendiri malah mau saja diintervensi. Tidak ada satupun dari kita yang merasa tersinggung. Dan itu apakah sikap resmi pemerintah di negaranya? Kan tida. Itu hanya orang-orang atau kelompok-kelompok yang punya kepentingan. Kalau saya sih menghadapi tuntutan itu tidak anggap apa-apa. Enggaklah.

Bagaimana situasi di Kopassus ketika isu kudeta merebak di Ibu Kota beberapa waktu yang lalu, bahkan sampai Presiden Gus Dur menyempatkan datang kemari?

Tenang-tenang saja kok. Kedatangan Gus Dur ke mari juga bukan dalam rangka isu itu kok, tetapi memang sudah direncanakan. Akhirnya toh Gus Dur juga tidak hanya datang ke Kopassus tetapi ke kesatuan-kesatuan lainnya, seperti Marinir atau Kostrad. Saya rasa posisi kami (TNI,-red) saat ini sudah paling low profilelah. Kami sudah tidak ngomong-ngomong politik lagi, tetapi gimana kok masih suka bertanya politik pada kami, ha..ha..ha..Pokoknya Kopassus ini sekarang terserah kehendak rakyat saja deh.

Anda menjadi orang nomer satu di Kopassus justru dimasa-masa ‘sulit’ bagi korps ini. Perubahan-perubahan mendasar apa yang paling terasa seiring dengan penataan kembali Kopassus ini?

Perubahan itu tidak terlalu terasa karena sistem kami ini sudah jalan. Bagaimana merekrut prajurit, misalnya, itukan sudah jelas dari dulu. Sistem pendidikan dan latihan sebagai pembinaan prajurit komando juga sudah ada. Pembinaan ini berupa pendidikan dan latihan yang meningkatkan keterampilan. Itulah yang mungkin disesuaikan dengan kondisi yang ada. Nah karena kondisi yang saya hadapi sekarang seperti ini misalnya, di satu sisi, masalah dukungan seperti anggarannya sangat terbatas, kemudian pengaruh dari suasana yang memang kurang menguntungkan, maka penataan yang kita lakukan selama setahun ini memang sebenarnya hanya dua aspek saja. Pertama adalah yang saya kelompokkan dalam mental spiritual. Ini kami katakan non fisik, meliputi bagaimana disiplinnya. Ini akan menyangkut masalah norma, aturan, hukum, sampai dengan yang terakhir, yaitu HAM. Inilah yang kita kaji dan benahi kembali. Lalu ada yang disebut jiwa korsa, yaitu kesolidan. Tidak ada saling rasa curiga. Ini kita mantapkan kembali. Kalau melihat jiwa korsa, berarti bukan hanya prajurit yang sekarang masih ada di dalam sini, tetapi juga warga korps. Lalu semangat. Ini menyangkut moril. Itu tentu juga salah satu aspek atau ukuran dari satu kesatuan, yaitu morilnya, disiplinnya, jiwa korsanya. Nah itu yang kita coba benahi. Nah kemudian kita tambahkan dalam segi spiritual adalah pelaksanaan dari ajaran agama. Sasaran saya itu supaya seseorang bukan hanya karena takut dihukum saja, tetapi dia memang tahu bahwa perbuatannya itu salah.

Barusan Anda sempat menyinggung juga masalah HAM yang dikaitkan dengan profesionalisme. Apa perubahan yang signifikan dari Kopassus dalam rangka mengantisipasi isu ini?

Itu bagian dari doktrin tadi. Maka yang bisa saya utarakan adalah bagaimana menerapkan aturan yang benar. Pertama, kita memang secara teori ada jadual atau semacam pembekalan atau penyuluhan yang dilakukan secara rutin tentang aturan, norma hukum, dan HAM. Kami mengerti betul bahwa HAM adalah suatu kebutuhan dari bangsa ini. Prajurit Kopassus juga ditekankan untuk mengerti betul soal ini sehingga tidak akan terulang lagi hal-hal semacam kesalahan prosedur, melanggar aturan, atau tidak mengerti aturan. Inti dari kurikulum itu adalah bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM yang lalu itu karena tindakan kekerasan. Berarti sekarang kekerasan itu harus dihindarkan. Makanya profesional dan ada kendali mental dan spiritual, supaya setiap tindakan dan ucapan seorang prajurit itu selalu bermanfaat bagi setiap orang. Karena itu bagaimana kita mendidik dan memberikan bekal agar out putnya seperti itu. Tidak ada lagi disini yang menyebut bahwa dia kejam, dia sadis. Tetapi tentu ini tidak bisa langsung jadi. Karena itu kita mulai dari pendidikan yang terus menerus kita benahi di masing-masing kesatuan.

Soalnya, kalau kita menyitir ucapan Kapuspen terdahulu (Mayjen TNI Sudrajat.-red), TNI agak ragu menuntaskan kasus-kasus kerusuhan seperti di Ambon, karena takut terjerat HAM. Sedikit-sedikit TNI bisa dianggap melanggar HAM. Apakah ini tidak dilematis bagi Anda?

Saya yakin dan percaya bahwa, seperti yang sudah disampaikan oleh Bapak KSAD sendiri, intinya adalah pegang teguh garis-garis komando yang ada. Kalau ada keraguan atau ketidakjelasan, tanyakan pada atasan, terus begitu. Profesional itu berarti kuasai bidang tugasmu dengan penuh disiplin dan tertib sesuai aturan hukum Jadi dia kenapa ragu kalau umpanya musuh mau nembak, ya tembak saja, kenapa? Orang sudah jelas melanggar aturan ya kita fight saja, berkelahi. Mungkin secara fisik kita menderita, tetapi dari aturan hukum kita dibenarkan. Kenapa takut? Selama ini, itu juga yang saya lakukan pada anak buah saya: kamu dikatakan begini, dikatakan begini, kamu yakin enggak pada apa yang kamu lakukan. Kalau mereka katakan tidak, ya jangan dilakukan. Mereka jadi percaya diri.

Mungkin yang membuat prajurit Kopassus kecil hati adalah karena kebanyakan perwira-perwira tinggi yang kena pelanggaran HAM berasal dari kesatuan baret merah ini…

Makanya saya bilang, kita ini baru berbicara sampai pada opini. Siapa saja menurut saya, melakukan (pelanggaran HAM) itu pasti ada alasan mengapa. Untuk mengatakan bahwa itu benar, tentu ada norma yang kita gunakan. Norma itu apakah opini atau aturan yang jelas, katakanlah itu adalah hukum, ya silakan jalankan dari sisi hukum itu. Nah apakah nanti hukum itu memuaskan atau tidak, jangan ditanya. Karena bisa saja saya merasa tidak puas tetapi orang lain puas. Itu tidak akan memuaskan semua pihak.

Tetapi mungkin sulit melihat sebuah operasi militer jika kemudian dikatakan sebagai pelanggaran HAM dari kacamata orang sipil, karena nampaknya disini ada perbedaan standar?

Memang dalam operasi militer, membunuh musuh itu boleh, bahkan bisa dikatakan sebagai keharusan, sedang masyarakat sipil tidak melihatnya demikian. Tetapi itu semua kan bermuara kepada hukum. Itu ada sistem hukumnya. Kalau umpamanya secara hukum dikatakan sebagai suatu kesalahan, masa kita membela yang salah.

Kita melihat mundur ke kasus penculikan aktivis prodemokrasi yang dimata orang sipil itu amat melanggar HAM. Tetapi bisa saja sebenarnya saat itu penculikan tersebut merupakan sebuah operasi resmi militer untuk melindungi pemerintahan yang sah. Inikan jadinya amat kontradiksi?

Sekarang ini pembuktian soal itu (operasi militer) secara resmi ada atau tidak?. Makanya kemarin kan diukur dengan digelar di pengadilan. Ya itulah ukurannya. Kalau untuk memuaskan semua pihak ya tidak akan bisa. Hanya akhirnya kita kembali kemana, yang menjadi ukuran kita adalah hukum atau yang menjadi ukuran kita adalah konsensus?. Maksudnya, walaupun itu melanggar hukum tetapi kalau kita sepakat begitu, misalnya, bagaimana?. Nah karena kita sekarang ini dalam upaya menata bangsa ini agar hukum ini tegak, maka kita arahkan agar ukuran-ukuran itu diukur dari segi hukum. Jadi selama kita sudah memenuhi tuntutan-tuntutan itu, maka soal keputusan iya atau tidak; senang atau tidak; pas atau tidak, itu kan bisa jadi subjektif.

Mantan Pangkostrad yang juga besar di Kopassus, Prabowo Subianto, berencana membuat buku putih yang intinya ingin mengungkapkan bahwa Kopassus selama ini hanya dijadikan kambing hitam, terutama yang menyangkut sejumlah kerusuhan. Bagaimana menurut Anda?

Saya baru dengar saja ada rencana itu. Tetapi soal benar atau tidaknya saya tidak tahu. Bagaimana isi (buku putih)-nya saya juga tidak tahu. Kalau saya berbicara naluri soal ‘pengkambinghitaman’ Kopassus, ya tentu kita harus kembali pada bagaimana tuntutan pada masa-masa itu yang tentunya akan berbeda, termasuk juga misi dan visi seorang pemimpin pada saat itu. Sedangkan saya kan berada di luar itu semua jadi tidak terlalu banyak tahu, apalagi seperti kalian bilang, dulu itu Kopassus agak sedikit mengalami hambatan komunikasi dengan masyarakat di luar. Jadi saya tekankan yang dulu ya dulu. Artinya kalau zaman ini dulu tidak berubah, mungkin kondisi Kopassus yang demikian bisa tambah bagus, sebaliknya kondisi Kopassus sekarang ini yang dinilai bagus bisa dianggap kemunduran dimasa itu.

Saat ini posisi militer serba sulit, sampai-sampai ada seorang Panglima Kodam yang takut salah mengambil langkah. Ini bagaimana?

Itu akhirnya pada kemantapan hal-hal tadi karena ini menyangkut kejiwaan atau hal-hal nonfisik. Setelah itu baru kemantapan fisik. Lengkaplah itu jadi profesional. Untuk profesional inilah kita benahi mulai dari pendidikan dan latihan. Pendidikan itu tentu berkaitan dengan kurikulum. Kalau si prajurit secara profesional dalam artian penguasaan terhadap ilmu yang dia miliki dan sikap mental spiritualnya juga betul-betul bagus, nah kita harapkan pembinaan itu berjalan seimbang. Maka sikap kebanggaan seseorang atas kemampuannya itu ada kontrolnya, tidak berlebihan dan sempit, tidak mengarah kepada suatu kesombongan. Dari situ bisa kita harapkan tanggung jawabnya. Kita harapkan, seorang prajurit Kopassus itu kalau merasa bersalah, tanpa harus ditemukan kesalahannya itu, dia langsung datang kepada atasannya dan mengaku, Pak saya sudah melakukan pelanggaran dan saya siap dihukum. Tetapi pasti si atasan akan bertanya, mengapa? Ini kita lihat dari prosedur hukum, bisa karena begini atau begini.

Kasus Agus Isrok nampaknya tak mencerminkan tanggung jawab yang Anda sebut barusan karena kasusnya baru digelar secara terbuka setelah masyarakat dan DPR menyoroti terus…

Enggak kok. Bohong besar itu. Begini, kita ini maunya menyesuaikan dengan kebijakan yang ada. Upaya kita ini menegakkan hukum dan aturan yang benar, karenanya memang kalau bukan bidang saya, sebaiknya saya jangan ngomong. Jangan nanti kita bilang profesional tapi kenyataannya politik. Kalau memang belum saatnya, ya jangan. Tetapi secara jadual mungkin ya bisa saya pertanggungjawabkan, kalau misalnya ada Tim datang, oke, silakan usut apakah benar baru sekarang diperiksa (Agus Isrok) itu. O, enggak, itu sudah kita lakukan dulu. Hukuman disiplin itu sudah kami lakukan.

Jadi bagaimana dengan anggapan masyarakat bahwa Agus Isrok yang sudah tertangkap tangan dengan semua barang bukti, tetapi nyatanya masih berdinas aktif di Kopassus ini?

Lho masa terus tanpa ada apa-apa orang langsung dibuang, dihukum, dipecat? Kan tidak begitu dong. Nanti dibilang lagi kita otoriter.

Prosedurnya bagaimana sih?

Prosedurnya ya kita serahkan ke hukum. Sekarangkan diadili. Pengadilannya sudah digelar. Nah, kita tunggu bagaimana keputusannya. Tetapi mengenai hukuman disipliner itu sudah kita lakukan. Di tentara itu berat ya karena ada dua hukum yang berlaku, yaitu hukum disiplin dan hukum pidana. Jadi disiplinnya Agus Isrok itu kita lihat apa pelanggarannya. Yaitu, dia pergi ke tempat yang kita duga tidak pas. Nah sekarang kalau kesalahan lainnya ya tunggu dulu. Artinya disesuaikan dengan prosesnya, yaitu diperiksa benar atau tidaknya. Kemudian ternyata benar menyangkut pidana, ya diadili.

Hukum disipliner itu berupa apa dan berapa lama?

Ada ketentuannya. Mulai dari teguran sampai dengan hukuman berupa tahanan. Ada tahanan ringan sampai tahanan berat. Cuma begini, ada orang yang minta supaya dia dihukum disipliner, dipecat. Wah, aturannya tidak begitu. Jangan memaksakan. Agus Isrok sudah diperiksa di Polisi Militer sejak tanggal 8 bulan 8 tahun 1999, kemudian diserahkan ke sini untuk dilakukan penahanan, lalu diserahkan lagi ke POM untuk penyidikan. Oleh POM kemudian diserahkan ke Oditur Militer. Ini artinya proses atas Agus Isrok dilakukan secara sistematis, bukan karena ada tuntutan dari masyarakat.

Anggaran untuk TNI dalam APBN terbilang kecil, tetapi dulu dana untuk belanja Kopassus bisa dipenuhi karena faktor Prabowo. Bagaimana Kopassus membelanjai dirinya sekarang?

Saya tidak tahu yang lalu ya, katanya begitu tetapi menurut saya tidak ada. Memang ada Mal Cijantung tetapi itu dibangun diatas utang kepada bank juga. Orang cerita Kopassus punya kekayaan, saya tanya, mana sih kekayaan Kopassus? Mal Cijantung itu bukan dibangun dari kocek di kantung kita terus jadi terus sekarang dapat hasil dan jadi kaya. Ini utang bank sehingga berlaku semacam business likelah. Wajar sekali kok sehingga semua orang juga bisa melakukan itu.

Berapa sih sebetulnya kebutuhan dan anggaran Kopassus sehari-hari?

Yang jelas kami ini punya tuntutan kepada prajurit, terutama disiplin tinggi, semangat tinggi, jiwa korsa, dan sebagainya. Tetapi ada juga kebutuhan yang harus kami tunjukkan dari tampilan dan profil kami, seperti tanda-tanda (kopel), baret yang ada emblem, semua ini terbuat dari logam yang harus mengkilap. Jadi harus dibrasso. Lantas yang hitam-hitam seperti sepatu ini harus disemir. Nah kita menuntut dia supaya kelihatan begitu, tetapi dari mana dia dapat uang untuk membeli brasso itu? Dari situ kami jadi berpikir bahwa jangan hanya menuntut dia, tetapi membantu dia. Makanya setiap bulan kita harus membagikan yang namanya bingkisan prajurit. Isinya ada odol, sikat gigi, semir sepatu, brasso. Bayangkan saja sekian ribu orang dengan indeks, taruhlah 20 ribu rupiah per orang.Tuntutan kami lainnya yang lebih dibandingkan kesatuan lain adalah soal peralatan. Tentu alat-alat ini juga kualifikasinya harus bagus, berarti keahlian kami juga harus lebih. Nah itulah kebutuhan kami. Tetapi itu tidak menyebabkan anggaran pemerintah bagi kami jadi sekian kali lipat lebih besar dari kesatuan lainnya. Tidak. Makanya pemenuhan kebutuhan itu harus kami atur sedemikian rupa. Berat juga.

Dilematis juga tuntutan profesional ini jika melihat besarnya gaji yang diterima prajurit. Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak prajurit yang lepas jam kerja terus jadi pengawal atau becking di rumah pengusaha. Ini bagaimana?

Itu yang tidak boleh kita jadikan alasan bahwa karena gaji kurang lalu jadi becking. Selama seorang prajurit masih berdinas, walaupun itu selepas jam kerja, dia tidak boleh jadi pegawai di tempat orang lain. Tetapi kalau dia hanya mau bergaul dengan orang luar saja sih boleh saja. Pokoknya dia tidak boleh melaksanakan tugas di luar kesatuan ini. Salah satu mekanisme kontrol yang kami lakukan adalah apel malam jam 21.00 WIB sehingga prajurit Kopassus yang lepas dinas jam 16.00 WIB, harus kembali pada waktu apel malam itu. Kalau tidak ada, kami tunggu dan minta tanggung jawab. Begitu ketahuan melanggar, langsung kena. Untungnya di Kopassus ini kita secara konsisten memenuhi komitmen agar standar kebutuhan mereka terpenuhi. Jadi prajurit yang masih organik di sini ya harus tinggal di sini. Rumahnya kita usahakan terpenuhi. Ada rumah untuk level Komandan Batalyon, ada rumah untuk pangkat Kapten, atau untuk level bintara, dan sebagainya. Jadi tidak ada yang namanya prajurit Kopassus Grup 1 tinggal di Serang, di Rangkasbitung, atau di Cilegon. Konsekuensinya, begitu si prajurit harus pindah tugas, kepadanya diberi waktu enam bulan untuk menggunakan fasilitas yang tersedia. Kalau setelah diberi peringatan sampai dua atau tiga kali tetap tidak mau, ya mungkin kita angkut dia pakai truk. Itu kasarnyalah, tapi tidak pernah sampai begitu.

Katanya pemeriksaan malam itu sampai tes urine, tetapi bagaimana sampai kebablasan ada prajurit Kopassus yang terlibat narkoba?

Memang diduga ada. Tetapi persentasenya kecil, artinya indikasi itu memang ada dan kami terur menerus melakukan pemeriksaan. Mana yang kita curigai akan terus kami awasi. Semua yang bargaul atau keluar malam itu kami awasi. Pada hari-hari tertentu, dia lengah sedikit, kami kenakan sanksi. Pokoknya bagi saya kalau sudah melanggar hukum tidak akan ada toleransi. Buat apa saya membela satu atau dua orang saja sih.