'Hartono berambisi jadi Pangab'



Wawancara Letjen (Purn.) Soeyono:


Mantan Kasum ABRI Suyono menuturkan adanya ketidakharmonisan hubungan di jajaran elit Angkatan Darat ketika pecah peristiwa Sabtu Kelabu,27 Juli 1996. Kata Suyono, mantan KSAD Hartono yang dekat dengan Kassospol waktu itu, Syarwan Hamid, dan Prabowo, yang masih menjabat Wadanjen Kopassus, memanfaatkan momen 27 Juli itu untuk menyingkirkan 'musuh-musuh' politik mereka, seperti mantan Ka BIA Syamsir dan Suyono sendiri. Hartono, kata Suyono, juga punya agenda mencuri posisi Pangab yang waktu itu dijabat Feisal Tanjung.

Menurut Suyono, kekerasan yang terjadi dalam aksi merebut kantor PDI tidak direncanakan oleh ABRI sebagai suatu institusi, maupun oleh mantan Presiden Soeharto. Beberapa pertemuan yang dilakukan jajaran petinggi TNI dengan Presiden Soeharto, tak pernah menyinggung soal pengambilalihan kantor PDI. Bahkan dalam Rakor Polkam yang dipimpin Menko Polkam Soesilo Soedarman, diputuskan, persoalan PDI adalah persoalan internal partai yang harus diselesaikan secara hukum, "Dalam Rakor Polkam itu ada Mendagri Yogie SM selaku pembina politik. Jadi agak janggal kalau Yogie kemudian dikait-kaitkan dengan kerusuhan itu", katanya merujuk pernyataan Syarwan yang mengaku bahwa pengambilalihan kantor itu atas perintah Yogie SM.

Ada berapa rapat yang Anda hadiri menjelang peristiwa 27 Juli itu?

Pertama saya ditanya soal seberapa jauh keterlibatan saya sewaktu rapat di Cendana. Saya tidak ingat persisnya kapan rapat itu, mungkin tanggal 19 Juli. Tapi kira-kira seminggu sebelum tanggal 27 Juli. Malam hari setelah Pak Harto main golf. Yang bisa saya ingat, hadir dalam rapat itu adalah Pak Tanjung, Pak Hartono, Syarwan Hamid, Sutiyoso, Dibyo Widodo, dan Hamami Nata. Pembicaraan dengan Pak Harto saat itu berlangsung dua arah. Yang dibahas terutama situasi umum saja. Yang khusus adalah soal mimbar bebas. Pak Harto cerita juga soal gambaran-gambaran zaman dulu, gimana PKI itu. Kami juga memberikan laporan soal perkembangan terakhir, siapa yang ada di mimbar bebas. Kira-kira pertemuannya berlangsung selama satu jam.

Apakah dalam pembicaraan itu sudah ada anggapan bahwa mimbar bebas itu berbahaya?

Enggak. Tapi situasinya sudah berkembang. Waktu itu Pak Harto juga tidak memberi petunjuk pelaksanaan, harus bubar misalnya. Tidak ada. Kami malah banyak membahas soal OTB-OTB (Organisasi Tanpa Bentuk, red) yang sedang banyak muncul.

Reaksi Pak Harto waktu cerita soal PKI itu bagaimana?

Biasa saja. Beliau kan orang yang paling bisa mengendalikan emosi.Tidak ada petunjuk yang istimewa. Pak Harto waktu itu juga hanya membagi pengalamannya saja, supaya (kami) mewaspadai gerakan-gerakan. Pak Harto kan sangat tahu apa yang terjadi pada tahun 1965 (soal G 30 S, red), sedangkan kita-kita kan banyak yang tidak tahu.

Apa tindak lanjut pertemuan di Cendana itu?

Ada pembahasan lagi pada tanggal 22 Juli di tingkat Mabes ABRI atas inisiatif Syarwan Hamid. Yang diundang adalah Pangdam, Kapolda, dan seluruh karyawan ABRI termasuk yang di DPR. Di-briefing di situ. Jadi yang laporan memang Kassospol. Bukan bidang saya, walaupun saya hadir sebagai undangan. Pertemuan itu dibuka oleh Pak Tanjung, penjelasan rinci diberikan oleh Pak Syarwan. Dia mengutarakan soal situasi sosial politik. Saya menganggap penting untuk memberikan penjelasan, karena kebetulan dalam forum itu kumpul semua. Waktu itu saya bicara soal mewaspadai propaganda dan agitasi, yang menurut saya sudah berkembang. Dalam pertemuan itu juga tidak ada perintah khusus, cuma informasi keseluruhan sejak Kongres PDI di Medan sampai situasi terakhir. Tetapi menyangkut politik thok.

Dari kedua pertemuan ini, apa tak berarti Pak Harto tersangkut?

Logikanya malah enggak. Karena ada pertemuan berikutnya untuk tingkat nasional, saya tidak ingat juga tanggal persisnya, ada rapat yang dipimpin oleh Menko Polkam, dihadiri juga oleh PakTanjung, Pak Yogi S. Memet, Pak Harmoko sebagai orang Golkar, juga Pak Eddy Sudrajat selaku Menhankam. Di situ disebutkan, bahwa ini adalah masalah intern PDI, supaya perselisihannya diselesaikan secara hukum. Berarti peran Pak Harto selesai sampai disitu. Sekarang yang jadi masalah adalah, keputusan di tingkat nasional begitu, di Mabes ABRI juga begitu, kenapa kok pelaksanaan taktis di lapangan, kok kekerasan?

Siapa yang 'main'?

Pertanyaannya memang akan jadi begitu. Wah, saya juga tidak tahu. Saya pernah mendengar ada surat perintah. Kabarnya, Pak Tanjung itu dimarahi Presiden, terus PakTanjung memarahi Pak Syamsir. Awalnya karena surat perintah tadi kopinya ada di Hartono dan Hartono melaporkan (kepada Soeharto). Surat perintah itu sempat dibaca oleh Pak Syamsir, tapi kemudian hilang. Mungkin Pak Syamsir dimarahi karena berkaitan operasi intelijen atau operasi khusus. Pak Syamsir sendiri tidak tahu soal surat perintah operasi itu. Mungkin dia itu di by pass. Bisa jadi Syarwan dengan Hartono yang bermain untuk menjatuhkan Tanjung dengan materi ini. Tapi karena Pak Harto sudah bersikeras bahwa penyelesaiannya harus secara hukum, Pak Harto tidak setuju dan marah sama Tanjung. Selanjutnya, Tanjung pun marah pada Syamsir. Syamsir tidak tahu menahu dan langsung mencari-cari di kantornya. Dia kemudian menemukan surat itu, yang ternyata ditandatangani oleh Syarwan. Hanya beberapa saat setelah itu, kata Syamsir, surat itu hilang. Seandainya surat itu adalah suatu bentuk perintah operasi, berarti sudah terjadi kesalahan. Perintah operasi itu harus dari Panglima,bukan Kassospol. Di sini letak teka-tekinya.

(Ketika dikonfirmasikan kepada Syamsir perihal surat tersebut, dia mengaku tidak tahu menahu, "Ah saya tidak tahu ada surat begitu. Cuma saya heran sewaktu pertemuan di Cendana, kenapa saya, sebagai Ka BIA, tidak diundang?", ujarnya mutung.)

Surat itu berisi operasi pengambilalihan Kantor PDI …

Kira-kira begitu. Mungkin surat ini sudah telanjur bocor, sudah dilaksanakan malah oleh Kodam. Jadi ini dipakai oleh Hartono untuk jatuhkan Tanjung, karena dia (Hartono) pingin jadi Pangab. Sutiyoso saja sampai pemeriksaan kemarin belum menyinggung soal itu.

Apakah Sutiyoso tahu?

Bisa tahu bisa tidak. Kalau itu suatu perintah operasi, mestinya dia tahu. Cuma alibinya Syarwan kan ini: Tidak pernah operasi sospol dilaksanakan secara tertulis. Saya sendiri tidak urus, apa betul begitu dalam sospol. Tapi kalau operasi intelijen itu pasti ada perintah tertulisnya, walaupun pelaksanaannya pakai sandi-sandi.

Menurut salah seorang mantan intel, Sutiyoso bisa tidak tahu operasi itu, karena BIA punya kewenangan komando langsung ke intel-intel di Kodam atau Korem …

Jangan percaya itu. (Suyono mengatakan ini, karena tahu sang mantan intel yang dimaksud TEMPO Interaktif adalah Barimbing). Orang itu bermasalah betul, sampai dia dipecat dari BIA, makanya sekarang dia mau menyalahkan BIA. Kok hebat betul sekarang dia disebut pengamat intelijen. Jangan percaya. Tapi soal kewenangan komando BIA yang bisa langsung, itu memang betul. Sutiyoso memang di by pass oleh intelijen, baik yang dari BIA sendiri maupun yang di bawahnya. Walau begitu, salah juga kalau mengatakan bahwa Sutiyoso tidak bertanggung jawab. Karena dari rekaman video, penyerbuan dilakukan bertahap. Nah yang terakhir hingga menjebol Kantor PDI itu terlihat anak buahnya dari Kodam semua (yang menyerbu). Polisinya mem-back up dari belakang.

Bagaimana dengan Kasdam Susilo Bambang Yudhoyono waktu itu?

Bambang Yudhoyono kan orang kedua di Kodam ya. Ibaratnya sama dengan saya dan Pak Tanjung. Tidak semua yang diketahui Pak Tanjung itu saya ketahui. Berarti tidak semua yang diketahui Sutiyoso diketahui oleh dia. Keberadaan dia di sekitar Kantor PDI waktu itu, ya, hanya karena komando saja. Artinya, Pangdam Jaya ada di situ, berarti Bambang juga harus dekat-dekat situ. Tapi tampaknya ada usaha dari Sutiyoso untuk membuat Bambang terikut-ikut.

Kalau surat itu tak diketahui oleh Feisal Tanjung, apakah bisa diartikan Feisal tidak terlibat?

Kalau dari versi ini tampaknya iya. Itu juga saya pertanyakan, kenapa tanggal 27 Juli itu saya, yang sedang dirawat di RSPAD karena kecelakaan motor di Manado, berusaha melapor ke Pak Tanjung sejak jam 07.00 WIB, baru pada jam14.00 Pak Tanjung mengontak saya dan menanyakan soal apa yang terjadi di Jakarta. Saya lalu laporkan. Waktu itu saya akui sedang rapat di RSPAD dengan Kasdam dan Wakapolda serta beberapa asisten lainnya, termasuk Yusuf Kartanegara, Asintel saya. Setelah Pak Tanjung tahu, termasuk keadaan saya yang mendapat kecelakaan, dia minta supaya rapat dipindahkan ke Makostrad dan dipimpin langsung oleh dia. Setelah itu saya tidak tahu lagi. Saya berpikir kemana Pak Tanjung? Hari itu adalah hari Sabtu. Biasanya dia main golf. Kalau mainnya di Jakarta saja, mestinya dia bisa cepat dapat kabar soal kerusuhan itu. Tidak sampai 6 jam untuk bisa saya kontak. Berarti dia tidak ada di Jakarta. Berarti dia tidak tahu kejadian itu.

Peran Hartono bagaimana?

Saya pernah mengatakan bahwa antara Hartono, Syarwan, Prabowo itu punya kegiatan 'ekstra'. Prabowo pada malam minggu, berarti malam setelah kejadian, sempat minta uang kepada Pak Dwi (Sudwikatmono.-red). Pak Dwi cerita, karena hari Sabtu dan keadaan darurat, dia terpaksa menarik uang dari bioskop-bioskop. Prabowo jelas tahu kejadian 27 Juli. Dia malahan memanfaatkan moment itu untuk menyingkirkan saya, dan itu hanya bisa dia lakukan lewat Hartono. Dia banyak bermain di belakang layar. Memang tidak bisa dibuktikan, tetapi kami sudah memonitor terus kegiatannya.

Bagaimana sebetulnya sikap Pak Harto kepada Megawati?

Terhadap keluarga Bung Karno saja Pak Harto itu baik. Amat memperhatikan. Saya lihat, ketika Mega menjadi besar setelah terpilih sebagai Ketua Umum PDI, yang takut bukan Pak Harto, tetapi Golkarnya. Mungkin atas bisikan-bisikan orang Golkar itu, sikap Pak Harto jadi lain. Tetapi keputusan soal pengambilalihan kantor PDI itu bukan keputusan murni Pak Harto. Di sini peran Harmoko dan Hartono sebagai master mind secara tidak langsung terlihat.

* Majalah Tempo, 12 Mei 2000